082136058xxx : Mister, kata pendidikan kalau dipisah jadi gimana? Rahmat
087835609xxx : Pen-di-dik-an
082136058xxx : Terimakasih mister, aku tadi ngeyel sama ibuku
087835609xxx : He he he bukan ngeyel tapi diskusi
Begitulah percakapan singkat melalui pesan singkat antara aku dan muridku. Sesaat setelah menerima pesan singkat yang pertama, saya tertegun. Begitu tinggi antusiasme muridku pada pelajaran yang saya ampu, bahasa Indonesia kelas 3 SD. Setelah saya ingat-ingat, ternyata hari ini Ujian semester Bahasa Indonesia. Saya jadi mengerti mengapa antusiasme muridku yang begitu tinggi, lain dari biasanya. Di pelajaran regular, antusiasme muridku memang cukup tinggi meskipun kadang juga rendah. Tapi apapun itu, berbicara tentang antusiasme itu, Rahmat (bukan nama sebenarnya) yang mengirim SMS tadi jelas mendapat point plus untuk itu.
Lanjut ke lanjutan SMS tadi. Setelah saya jawab, ternyata Rahmat memberikan jawaban lagi dengan kalimat “Terimakasih mister, aku tadi ngeyel sama ibuku”. Kontan saja saya langsung nyengir kuda membaca SMS Rahmat. Rupanya sebelum memutuskan bertanya melalui SMS pada saya, telah terjadi perdebatan sengit antara ibu dan anak. Setelah saya jawab, entah siapa yang akhirnya memenangkan perdebatan itu. Mungkin si ibu tapi bisa juga si anak.
Mengamati kisah nyata di atas, ada beberapa hal yang menarik diperbincangkan sebagai bahan pelajaran bagi kita bersama. Pertama, tradisi akademik. Anak yang tidak berada dalam tradisi akademik yang baik kecil kemungkinannya mempunyai inisiatif bertanya tentang suatu masalah pada orang yang lebih dewasa, apalagi masalah pelajaran. Sebaliknya anak yang berada dalam lingkungan yang mengerti dan memahami pendidikan akan terpengaruh dan terbentuk kepribadiannya untuk mencintai ilmu pengetahuan. Kedua, kedekatan orang tua dan anak dalam mendampingi belajar. Terkadang yang dituntut anak bukan orang tua yang bisa menjawab semua persoalan pelajaran namun dukungan moril dalam mendampingi belajar. Ketiga penggunaan kata positif. Kata “ngeyel” yang di gunakan anak, bisa jadi merupakan kata yang diucapkan orang tua untuk menyatakan sikap anak yang tidak mengikuti kata-katam orang tua. Kata tersebut berkonotasi negatif. Jika dipahami lebih dalam, “ngeyel” merupakan manifestasi sikap kritis anak atas pendapat yang diyakininya benar. Ini merupakan sikap yang baik karena membuktikan anak mempunyai pendirian. Kata-kata yang berkonotasi negatif, sebaiknya diubah menjadi kata yang berkonotasi positif. Kata “ngeyel” yang muncul dalam kasus ini sebaiknya diganti menjadi “diskusi”. Kata ini jauh lebih nyaman digunakan. Kata ini juga mengandung muatan tradisi akademik yang baik.
Kembali pada pembahasan tentang kata-kata positif. Sebenarnya apa pengaruhnya jika kata-kata yang digunakan adalah kata yang berkonotasi negatif? Bukankah itu lebih familiar dan tidak memerlukan energi lebih untuk menjelaskan makna kata-kata positif yang kadang belum dipahami anak? Kata-kata negatif ibarat radikal bebas yang jika terakumulasi akan membahayakan kesehatan seseorang. Kata-kata negatif memang tidak seketika “membunuh” karakter unggul anak. Namun jika terakumulasi, kata-kata negatif akan menggerogoti karakter unggul anak sehingga anak menjadi kerdil dan tidak percaya diri, tidak berani mengambil resiko, dan tidak bertanggung jawab. Dalam keseharian, kita pasti bisa membandingkan anak yang dibesarkan dengan kata-kata positif dan anak yang dbesarkan dengan kata-kata negatif. Bandingkanlah rasa percaya dirinya, keberaniannya, dan rasa tanggung jawabnya. Tentu berbeda bukan? Padahal kita tahu karakter-karakter unggul seperti itulah yang kelak akan mempengaruhi kesuksesan anak saat dia dewasa kelas.