SELAMAT DATANG DI BLOG SEDERHANA INI, JANGAN LUPA TINGGALKAN PESAN DI SHOUTBOX AGAR SAYA BISA MENGUNJUNGI BALIK December 2012 ~ curhatku

Sekolah Para Juara

Semua anak adalah cerdas. Ada 8 kecerdasan menurut Gardners yang kita kenal dengan Multiple intelegencies. SDII Al Abidin berupaya mengembangkan setiap potensi kecerdasan sehingga semua siswa berpeluang menjadi juara di bidangnya masing-masing

Sekolah Tanpa PR

PR ternyata bukan sarana efektif untuk menjadikan anak kita cerdas. Bahkan bagi sebagian besar anak, PR adalah beban. Di SDII Al Abidin, siswa kelas 1 dan 2 bebas PR agar ananda bisa berkembang optimal dan menikmati masa kecilnya dengan ceria. Mulai kelas 3 baru ada PR secara bertahap.

Sekolah 6 Bahasa

Bahasa merupakan alat terpenting komunikasi serta menjadi alat yang memperlancar menuju kesuksesan. Oleh karena itu bahasa harus diperkenalkan sejak awal. Di SDII Al Abidin ada 6 bahasa yang di ajarkan yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Jawa, Bahasa Jepang, dan bahasa Mandarin

Sekolah Menyenangkan

Menurut para ahli ketika seseorang senang, otak dalam posisi optimal untuk menyerap materi pelajaran. Oleh karena itulah SDII Al Abidin mengembangkan metode pembelajaran yang menyenangkan seperti game, nyanyian, tepuk, dongeng, menonton film, CTL, dan outing class

Sekolah Berbasis IT

Information Technology merupakan hal mutlak yang harus dimiliki. Oleh karena itu SDII Al Abidin mengajarkan kemampuan IT pada peserta didiknya. Aplikasi open source linux adalah pilihannya.

Monday, December 3, 2012

MENGHARGAI “KENGEYELAN” ANAK

082136058xxx : Mister, kata pendidikan kalau dipisah jadi gimana? Rahmat 087835609xxx : Pen-di-dik-an 082136058xxx : Terimakasih mister, aku tadi ngeyel sama ibuku 087835609xxx : He he he bukan ngeyel tapi diskusi Begitulah percakapan singkat melalui pesan singkat antara aku dan muridku. Sesaat setelah menerima pesan singkat yang pertama, saya tertegun. Begitu tinggi antusiasme muridku pada pelajaran yang saya ampu, bahasa Indonesia kelas 3 SD. Setelah saya ingat-ingat, ternyata hari ini Ujian semester Bahasa Indonesia. Saya jadi mengerti mengapa antusiasme muridku yang begitu tinggi, lain dari biasanya. Di pelajaran regular, antusiasme muridku memang cukup tinggi meskipun kadang juga rendah. Tapi apapun itu, berbicara tentang antusiasme itu, Rahmat (bukan nama sebenarnya) yang mengirim SMS tadi jelas mendapat point plus untuk itu. Lanjut ke lanjutan SMS tadi. Setelah saya jawab, ternyata Rahmat memberikan jawaban lagi dengan kalimat “Terimakasih mister, aku tadi ngeyel sama ibuku”. Kontan saja saya langsung nyengir kuda membaca SMS Rahmat. Rupanya sebelum memutuskan bertanya melalui SMS pada saya, telah terjadi perdebatan sengit antara ibu dan anak. Setelah saya jawab, entah siapa yang akhirnya memenangkan perdebatan itu. Mungkin si ibu tapi bisa juga si anak. Mengamati kisah nyata di atas, ada beberapa hal yang menarik diperbincangkan sebagai bahan pelajaran bagi kita bersama. Pertama, tradisi akademik. Anak yang tidak berada dalam tradisi akademik yang baik kecil kemungkinannya mempunyai inisiatif bertanya tentang suatu masalah pada orang yang lebih dewasa, apalagi masalah pelajaran. Sebaliknya anak yang berada dalam lingkungan yang mengerti dan memahami pendidikan akan terpengaruh dan terbentuk kepribadiannya untuk mencintai ilmu pengetahuan. Kedua, kedekatan orang tua dan anak dalam mendampingi belajar. Terkadang yang dituntut anak bukan orang tua yang bisa menjawab semua persoalan pelajaran namun dukungan moril dalam mendampingi belajar. Ketiga penggunaan kata positif. Kata “ngeyel” yang di gunakan anak, bisa jadi merupakan kata yang diucapkan orang tua untuk menyatakan sikap anak yang tidak mengikuti kata-katam orang tua. Kata tersebut berkonotasi negatif. Jika dipahami lebih dalam, “ngeyel” merupakan manifestasi sikap kritis anak atas pendapat yang diyakininya benar. Ini merupakan sikap yang baik karena membuktikan anak mempunyai pendirian. Kata-kata yang berkonotasi negatif, sebaiknya diubah menjadi kata yang berkonotasi positif. Kata “ngeyel” yang muncul dalam kasus ini sebaiknya diganti menjadi “diskusi”. Kata ini jauh lebih nyaman digunakan. Kata ini juga mengandung muatan tradisi akademik yang baik. Kembali pada pembahasan tentang kata-kata positif. Sebenarnya apa pengaruhnya jika kata-kata yang digunakan adalah kata yang berkonotasi negatif? Bukankah itu lebih familiar dan tidak memerlukan energi lebih untuk menjelaskan makna kata-kata positif yang kadang belum dipahami anak? Kata-kata negatif ibarat radikal bebas yang jika terakumulasi akan membahayakan kesehatan seseorang. Kata-kata negatif memang tidak seketika “membunuh” karakter unggul anak. Namun jika terakumulasi, kata-kata negatif akan menggerogoti karakter unggul anak sehingga anak menjadi kerdil dan tidak percaya diri, tidak berani mengambil resiko, dan tidak bertanggung jawab. Dalam keseharian, kita pasti bisa membandingkan anak yang dibesarkan dengan kata-kata positif dan anak yang dbesarkan dengan kata-kata negatif. Bandingkanlah rasa percaya dirinya, keberaniannya, dan rasa tanggung jawabnya. Tentu berbeda bukan? Padahal kita tahu karakter-karakter unggul seperti itulah yang kelak akan mempengaruhi kesuksesan anak saat dia dewasa kelas.