Indonesia merupakan Negara kaya. Namun kekayaan yang dimiliki tidak serta merta meningkatkan taraf hidup warganya. Disamping karena distribusi yang belum merata, kekayaan negeri ini banyak bocor di berbagai sektor karena dicurangi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Korupsi adalah salah satu bentuk kecurangan yang sering kita dengar. Organisasi Fund for Peace merilis indeks terbaru mereka mengenai Failed State Index 2012 di mana Indonesia berada di posisi 63. Sementara negara nomor 1 yang dianggap gagal adalah Somalia. Penelitian ini menggunakan indikator dan sub indikator, salah satunya indeks persepsi korupsi. Dalam penjelasan mereka, dari 182 negara, Indonesia berada di urutan 100 untuk urusan indeks korupsi tersebut. Indonesia hanya berbeda 82 dari negara paling korup berdasarkan indeks lembaga ini, Somalia. Negara yang dianggap paling baik adalah New Zealand.
Sebenarnya apa yang salah dengan negeri ini? Apabila dicari akar permasalahannya, kita akan menemukan bahwa salah satu penyebab adalah karena kurang kuatnya pondasi karakter. Hal ini mengakibatkan seseorang tidak mempunyai jati diri sehingga tidak mampu melawan pengaruh negatif yang datang kepadanya. Meninjam salah satu alur cerita iklan layanan masyarakat tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), rapuhnya pondasi karakter yang ditanamkan orang tua pada saat belia, mengakibatkan anak tidak mempunyai daya tahan kuat menghadapi pengaruh negatif seperti berbuat curang saat pelajaran di pendidikan dasar, berbuat onar ketika ada di jenjang menengah tinggi, dan tidak kuasa menerima sogokan saat kerja, dan berakhir pada jeruji besi saat usia menginjak paruh baya. Iklan layanan masyarakat tersebut memang memotret kondisi nyata masyarakat kita.
Menyadari kondisi terpuruk ini, banyak cerdik pandai menawarkan idenya dengan tujuan agar mental anak bangsa bisa kembali baik. Dari mulai mengintegrasikan pendidikan karakter dalam kurikulum sampai dengan pendekatan mental spiritual dengan menambah porsi pelajaran agama seperti yang banyak dilakukan oleh sekolah swasta. Di sisi lain, ancaman hukuman untuk para pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme juga diperberat. Namun kenyataannya KKN tidak kunjung berkurang.
Pada hakikatnya bukan hanya cerdik pandai yang berhak menawarkan ide karena semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk memajukan bangsanya. Semua pihak bisa berperan. Besar kecil peran itu tentu bukanlah persoalan. Karena ini menandakan adanya semangat untuk memperbaiki keadaan. Semangat ini tentu harus diapresiasi karena banyak pihak yang bergandengan tangan berarti makin besar peluang keberhasilannya.
Mencapai tujuan besar sering kali harus dimulai dari hal-hal kecil. Makan bersama misalnya. Jangan remehkan ritual makan bersama keluarga. Karena dari kebiasaan yang tampak sepele ini, bisa menjadi ajang untuk membentuk karakter kuat sebuah bangsa. Masyarakat jawa sudah mengenal etiket makan bersama. Aturan-aturan orang jawa yang tidak tertulis ini tercermin dari tata krama makan. Bahkan lebih dari tata krama. Ada nilai filosofi yang terkandung di dalamnya. Salah satunya adalah urutan pengambilan makanan. Ayah sebagai kepala keluarga mendapat giliran pertama. Yang mengambilkan adalah ibu. Ini merupakan sebuah simbol penghormatan istri kepada suami.
Mari kita lihat lebih jauh apa yang biasanya muncul dalam sarapan bersama. Pertama melalui sarapan pagi, ayah, ibu dan anak bisa kumpul bersama satu meja. Dengan demikian kedekatan emosi di antara anggota keluarga bisa terbina dengan baik. Kedekatan emosi akan membuat seseorang merasa senang dan bahagia. Jika hari sudah diawali dengan kebahagiaan maka, kesuksesan sepanjang hari itu akan mudah didapatkan. Kedua, dengan duduk bersama satu meja, orang tua bisa menanamkan karakter baik pada anak-anaknya seperti, makan sambil duduk, berdoa sebelum makan, dan sebagainya. Orang tua masyarakat Jawa kuno juga mengenalkan subosito (aturan) makan pada keluarganya, seperti ojo kecap (Dikunyah pelan pelan dan jangan menimbulkan bunyi), ojo nyuwil (menggigit daging kemudian ditarik dengan tangan).
Melihat berbagai manfaat sarapan di atas, nampaknya sarapan pagi bersama bukan hanya masalah mengisi perut. Namun sayangnya kebiasaan baik ini banyak yang ditinggalkan dengan alasan kesibukan pekerjaan. Menurut survei di dua puluh negara termasuk Indonesia oleh salah satu merek wafer terkenal bekerja sama dengan Ipsos pada tahun 2012 menyatakan, 50 persen orangtua menghabiskan waktunya untuk bekerja dibandingkan memiliki waktu khusus untuk anak-anaknya. Kondisi ini tentu memprihatinkan. Akibatnya banyak anak jaman sekarang yang “kurang kasih sayang”. Anak tidak cukup dibekali uang dan dipenuhi semua kebutuhan fisiknya. Anak juga memerlukan bekal kasih sayang yang cukup untuk mengisi jiwanya. Anak yang tidak cukup mendapatkan kasih sayang akan labil jiwanya. Emosinya sering tidak terkontrol. Mudah terombang-ambing dalam hal-hal yang tidak baik. Ketika anak masih SD dan SMP, dia mungkin akan nakal pada temannya, suka berbohong. Menginjak SMU dan kuliah bisa jadi anak masuk ke geng yang tidak baik, sehingga muncullah tawuran pelajar, nyabu dll.
Benarkah semua dampak negatif pada anak disebabkan karena tidak sarapan? Jawabannya bisa iya bisa tidak. Namun intinya orang tua menyediakan ruang untuk mengisi kasih sayang pada anaknya. Dan sarapan pagi adalah ruang yang paling mudah. Karena pada umumnya aktifitas orang dalam sebuah keluarga dimulai saat pagi hari. Setiap anggota keluarga pun masih dalam kondisi fresh. Namun meskipun tampak mudah akan tetapi bisa menjadi masalah jika belum dibiasakan sejak awal. Oleh karena itu membiasakan sarapan pagi bersama sebaiknya dimulai sedini mungkin. Idealnya sejak anak masih balita. Karena begitu anak menginjak pra remaja, akan lebih susah mengajak mereka sarapan pagi bersama. Mereka terlanjur memiliki komunitas yang mereka inginkan. Energi yang dibutuhkan untuk menarik kembali dalam tradisi keluarga, jauh lebih lebih besar.
Apakah setiap keluarga bisa memulai kebiasaan baik ini padahal kesibukan pagi setiap keluarga bermacam-macam? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita meminjam nasehat AA Gym bahwa untuk memulai suatu yang baik perlu dilakukan tiga hal yaitu mulai dari diri kita sendiri, memulai dari hal-hal kecil, dan mulai sekarang juga. Pertama mulai dari diri kita sendiri. Ayah sebagai kepala keluarga sebaiknya mengatur strategi agar kebiasaan sarapan pagi bersama bisa dilaksanakan. Jika setiap keluarga sudah memulai maka kebiasaan baik ini akan menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang. Kedua, mulai dari hal-hal kecil. Kebiasaan sarapan pagi bersama merupakan kebiasaan kecil. Namun apabila dihayati, kebiasaan kecil ini ternyata berimbas besar, dan yang ketiga mulai sekarang juga. Tidak perlu menunggu keluarga lain memulai baru kita tergerak mengikuti. Mulailah sekarang juga. Inilah kebiasaan sederhana namun berdampak besar. Semoga bangsa kita menjadi bangsa yang jaya. (hnf)